Di World Cup (Qatar 2022) kesebelasan Jepang menelan kekalahan yang menyesakkan. Pada babak 16 besar. Semula, target Jepang adalah delapan besar, namun target ini tak tercapai. Setelah mengalahkan dua tim raksasa, Jerman dan Spanyol, Jepang dikalahkan Croatia dalam pertandingan fair-play. Kalah ya kalah, Jepang tidak mengeluarkan sepatah kata pun untuk beralasan. Tetapi yang pertama keluar dari mulut pemain dan pelatih mereka, Hajime Moriyasu; terimakasih untuk para pendukung mereka dan penyelenggara Piala Dunia ini, Moriyasu membungkuk dalam-dalam di hadapan pendukungnya. Dan, yang tidak banyak diketahui orang, dia kembali lagi ke tengah lapangan sejam setelah pertandingan itu berakhir, dan hampir tidak ada media peliput. Dia sekali lagi membungkuk dalam-dalam di dalam stadion yang hampir kosong itu untuk menunjukkan rasa terima kasih dan kerendahan hatinya pada tempat (stadion) pertandingan ini. Tim Jepang memang kalah, tapi tetap melakukan tradisi mereka; membersihkan kamar ganti sebersih-bersihnya, melipat origami berbentuk “tsuru” (semacam burung bangau yang dipercaya membawa keberuntungan), menulis kata “terima kasih” dalam bahasa Arab, dan meninggalkan kamar ganti itu dengan sunyi. Pendukung kesebelasan Jepang pun sama, mereka membersihkan stadion, bukan hanya area sekitar mereka duduk. Banyak di antara mereka yang melakukannya sambil menangis. Mereka melakukan ini bukan karena ingin diliput media massa, tapi karena ini tradisi mereka. Dalam pertandingan Liga Nasional, J-League, mereka melakukan ini tanpa ada yang meliput (media massa), semboyan mereka “meninggalkan stadion dalam keadaan lebih bersih dari waktu mereka datang.” Kapten kesebelasan, Maya Yoshida pernah mengatakan bahwa kebiasaan bersih-bersih ini sesuatu yang biasa, bukan sesuatu untuk diliput media.
Melakukan sesuatu yang baik dalam kondisi senang itu gampang, semua orang bisa! Namun melakukannya dalam kondisi “jatuh” itu sangat sulit. Ini perlu penguasaan diri dan disiplin yang ditanamkan sepanjang hidup. Jepang bisa melakukan ini bukan karena mereka terlahir demikian. “Investasi pendidikan” mereka, dalam bentuk “Soft Power”, muncul pada saat mereka terpuruk sekali pun. Mereka menunjukkan pada dunia bahwa kemampuan dan penguasaan diri untuk berlaku lembut, sopan, disiplin dan beradab itu adalah “power”. Tanpa banyak mulut dan drama, mereka menunjukkan pada dunia “template”dari masyarakat yang beradab.
Kesebelasan Jepang dan para pendukungnya datang untuk menyuguhkan permainan sepak bola yang baik dan dengan semangat sportivitas. Mereka tidak pernah meremehkan lawan, apalagi mengolok-olok lawan yang kalah. Mereka tahu bahwa lawan tanding mereka berusaha sama kerasnya dengan mereka. Hanya orang yang telah berusaha keras yang bisa menghargai usaha orang lain. Kali ini mereka kalah dalam sepak bola, tapi “Soft Power” mereka menang besar! Mereka “menang” dalam kekalahan. Investasi pendidikan mereka “berbunga” di Doha.